KORUPTOR 40M DIVONIS 2.5 TAHUN PENJARA: QUO VADIS AGENDA PEMBERANTASAN KORUPSI RI?
Penulis: Dr. YOSMINALDI , SH.MM
Editor. : ADZWAYASANTIKA PAMBUDI ULIA
Bekasi - TitikKarya.com - Hukum di negeri ini kembali membuat berita heboh. Sebuah "tragedi" di pengadilan yang mengusik dan melecehkan rasa keadilan masyarakat. Disaat gaung pemberantasan korupsi justru seharusnya makin kencang, muncul vonis hakim 2.5 tahun penjara atas kasus tindak pidana korupsi bernilai 40 milyar rupiah. Parahnya, terhukumnya adalah ex Anggota BPK. Sebuah jabatan terhormat dalam kelembagaan tinggi negara yang diatur Konstitusi Negara.
Pemerhati Sosial, Politik, Hukum & Ketenagakerjaan Dr. Yosminaldi, SH.MM menjelaskan bahwa Jabatan sebagai Anggota Badan Pengawas Keuangan (BPK) adalah amanah mulia negara kepada seseorang untuk bisa berperan serta aktif dalam melakukan pengawasan testruktur, sistematis dan masif terhadap penggunaan keuangan negara. Jabatan mulia dan terhormat itu yang notabene diisi oleh orang2 berintegritas, kompeten dan lolos proses rekrutmen dan seleksi yang sangat ketat. Sampai2 dibuat proses "fit & proper test" sebagai salah satu jalur terpenting untuk mendapatkan seorang calon untuk mengisi posisi terhormat tersebut.
"Namun, kita terhenyak dan kembali kaget bahkan "shock" dengan vonis koruptor yang sangat rendah untuk Pejabat terhormat BPK yang terbukti mencuri uang negara 40 milyar. Jumlah uang yang tidak sedikit. Jumlah uang yang bisa membiayai ratusan anak2 miskin untuk mengenyam pendidikan formal sampai Perguruan Tinggi. " Ujar nya
_"Jika kejahatan dan korupsi merajalela, kebebasan tidak bisa bertahan; tetapi, jika kebajikan memiliki keuntungan, kekuasaan sewenang-wenang tidak dapat dibangun."_- Algernon Sidney. Pada Minggu 23 Juni 2024
Di sisi lain Dr. Yosminaldi, SH.MM menuturkan bahwa Vonis kontroversial tersebut tentu saja memantik dan memunculkan komentar2 bahkan kritik keras publik. Timbul pertanyaan, Ada apa dibalik vonis rendah ini? Terdakwa yang terbukti melakukan korupsi uang rakyat 40 milyar, kenapa vonis hakim cuma 2.5 tahun? Sementara pencuri seekor ayam yang cuma untuk memberi makan keluarganya malah dihukum penjara 7 tahun? Logika dan rasa keadilan publik tercabik-cabik.
Kontradiksi vonis hakim yang tak masuk alam pikiran rasional publik, justru membuat kepercayaan masyarakat kepada hukum di negeri ini makin anjlok. Dengan sederet vonis hakim yang melecehkan rasa keadilan publik ditambah dengan "pemerkosaan" hukum melalui perubahan sejumlah pasal2 peraturan untuk kepentingan dinasti kekuasaan, rakyat makin apatis terhadap hukum. Cita2 hukum sebagai benteng terakhir pencari keadilan, buyar sudah. Walhasil, muncul pengadilan2 jalanan bahkan tindakan main hakim sendiri.
CANDU KORUPSI
Kenapa masih banyak orang-orang dan Pejabat yang Korupsi? Padahal gaji, fasilitas dan benefit yang mereka terima sebagai kompensasi langsung atas jabatan yang diemban sudah sangat layak, pantas dan proporsional. Namun, perilaku korupsi seakan tak pernah berhenti, bahkan makin "menggila". Apa yang salah dalam strategi pemberantasan korupsi di negeri?
Alasan seseorang korupsi bisa beragam, namun secara singkat dikenal teori "GONE" untuk menjelaskan faktor penyebab korupsi. Teori "GONE" yang dikemukakan oleh Jack Bologna adalah singkatan dari Greedy (Keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (Kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan).
Teori GONE mengungkapkan bahwa seseorang yang korupsi pada dasarnya serakah dan tak pernah puas. Tidak pernah ada kata cukup dalam diri koruptor yang serakah. Keserakahan ditimpali dengan kesempatan, maka akan menjadi katalisator terjadinya tindak pidana korupsi. Setelah serakah dan adanya kesempatan, seseorang berisiko melakukan korupsi jika ada gaya hidup yang berlebihan serta pengungkapan atau penindakan atas pelaku yang tidak mampu menimbulkan efek jera.
Selanjutnya Teori Korupsi Robert Klitgaard CDMA Theory. Menurut Klitgaard, korupsi terjadi karena adanya faktor kekuasaan dan monopoli yang tidak dibarengi dengan akuntabilitas. Klitgaard membuat rumus korupsi sebagai berikut:
Corruption = Directionary + Monopoly + Accountability (CDMA)
Donald R. Cressey mengajukan "Fraud Triangle Theory". Tiga faktor yang berpengaruh terhadap fraud (kecurangan) adalah kesempatan, motivasi, dan rasionalisasi. Ketiga faktor tersebut memiliki derajat yang sama besar untuk saling mempengaruhi.
Lalu Teori Cost-Benefit Model. Menurut teori ini, korupsi terjadi jika manfaat korupsi yang didapat dirasakan lebih besar dari biaya/risikonya (Nilai Manfaat Bersih Korupsi).
Terakhir, Teori Willingness and Opportunity to Corrupt.
Korupsi terjadi jika terdapat kesempatan/peluang (kelemahan sistem pengawasan kurang. Dan sebagainya) dan niat/keinginan (didorong karena kebutuhan & keserakahan).
Berdasarkan Motivasi Pelaku, korupsi dapat dibedakan menjadi lima:
1. Korupsi karena kebutuhan,
2. Korupsi karena ada peluang,
3. korupsi karena ingin memperkaya diri sendiri,
4. Korupsi karena ingin menjatuhkan pemerintah,
5. Korupsi karena ingin menguasai suatu negara . (Abdullah Hehamahua, makalah semiloka “Wajah Pemberantasan Korupsi di Indonesia).
Dari sejumlah teori2 korupsi diatas, dapat kita tarik "benang merah" motivasi korupsi itu sangat beragam. Namun, satu hal paling penting adalah MENTALITAS & MORALITAS orang tersebut. Semua tindakan yang dilakukan seseorang, tentu saja berawal dari mentalitas dan moralitas yang dimiliki oleh seseorang. Jika nilai2 mentalitas & moralitas yang baik dan benar, sudah benar2 dipahami dan dihayati secara mendalam, sudah pasti rencana korupsi bisa diminimalisir bahkan tidak akan dilakukan.
Pemerhati Sosial, Politik, Hukum & Ketenagakerjaan Dr. Yosminaldi, SH.MM menuturkan Pendidikan adalah mentalitas dan moralitas yang berisikan tentang nilai2 kejujuran dan spirit keagamaan yang mengharamkan tindakan2 jahat korupsi sejak dini (mulai sekolah TK), bisa jadi akan menghambat niat melakukan kejahatan2 curang termasuk korupsi. Selain itu, dukungan lingkungan yang sehat, bebas dari nilai2 kecurangan dan kejahatan korupsi, akan memberikan pengaruh tersendiri untuk orang2 yg berniat akan melakukan korupsi.
Satu hal yang paling penting dalam strategi pemberantasan korupsi adalah pemberian hukuman berat, bahkan hukuman mati untuk seorang Koruptor. Hal ini sangat sulit dilakukan di negeri ini, karena banyaknya kepentingan2 dalam penyusunan UU anti korupsi. "Political Will" dari Elit Politik (Legislatif dan Eksekutif) sebagai Pembuat UU, sangat menjadi faktor penting dalam strategi pemberantasan korupsi.
Jika mentalitas dan moralitas mereka masih banyak terpapar niat korupsi bahkan sudah melakukan korupsi berjamaah, bagaimana akan menghasilkan regulasi anti korupsi yang mumpuni dalam pemberantasan korupsi? Kemandirian dan Independensi lembaga peradilan mulai PN, PT dan MA adalah faktor utama dalam penegakkan hukum anti korupsi, termasuk vonis2 yang memberikan efek jera.
"Parahnya, keteladanan kaum elite negeri dalam strategi pemberantasan korupsi tak menjadi bagian terpenting. Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) di era Reformasi yang sudah berjalan 26 tahun ini makin menjadi-jadi tanpa bisa dihentikan. Semua lembaga negara termasuk kaum elite politik tak menunjukkan niat baik dalam pemberantasan korupsi. " Tutur bang Yos sapaan akrabnya
Hal ini bisa dilihat dari banyaknya Pejabat2 negara yang tertangkap kasus OTT Kejaksaan Agung dan KPK. Itupun masih seperti "gunung es" yang hanya terlihat di permukaan, padahal jauh di semua lini pemerintahan justru banyak dugaan kasus2 korupsi yang tak tersentuh.
Jika strategi pemberantasan korupsi di negeri ini masih tidak diiringi oleh keteladanan para Pemimpin, kemandirian dan independensi lembaga peradilan serta "political will" yang kuat dari Penguasa, maka strategi pemberantasan korupsi tak akan pernah mencapai harapan dan sasaran yang dicita-citakan.
Dikawatirkan jargon2 pemberantasan korupsi hanya menjadi materi kampanye kaum Politisi dalam meraih suara untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaan. Setelah mereka berhasil meraih kursi yang diinginkan, janji2 kampanye tak bisa diimplementasikan, karena kompleksnya jeratan dan jebakan budaya korupsi yang sudah berkelindan dalam lingkungan kekuasaan.
Kita butuh terobosan revolusioner dalam agenda pemberantasan korupsi di negeri ini. Hal ini harus dimulai dari pemilihan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berintegritas, kompeten, visioner dan berkomitmen tinggi dalam mengisi jabatan2 publik untuk bisa melaksanakan agenda pemberantasan korupsi.
Pejabat publik, aparat hukum serta para hakim adalah aset penting dan utama sebagai "motor" dalam agenda pemberantasan korupsi. Ibarat peribahasa klasik, "sapu kotor tak akan bisa membersihkan", maka Pejabat negara yang memiliki mentalitas dan moralitas bobrok, tak akan bisa menjadi agen dalam strategi pemberantasan korupsi.
Budaya korupsi dikawatirkan akan turun-temurun kepada generasi milenial, gen Z dan gen2 berikutnya, jika kita semua tak serius membenahi kebobrokan ini. Budaya korupsi, perlahan namun pasti akan menggerogoti nilai2 kebangsaan dan nilai2 kejujuran. Jika mentalitas dan moralitas penuh kecurangan, anti kejujuran dan korupsi sudah melekat kuat dalam diri generasi penerus bangsa, silakan dibayangkan akan bagaimana negeri ini menuju Indonesia Emas 2045 yang dicita-citakan itu?
Post a Comment